Mau punya buku tamu seperti ini?
Klik di sini
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 16 Januari 2011

Fakta Mengenai Cultuurstelsel Atau Tanam Paksa


Cultuurstelsel (Bel.). Suatu sistem perkebunan yang lajim dikenal dengan nama “tanam(an) paksa” pada waktu pemerintahan Hindia Belanda di P. Jawa tahun 1830. Direncanakan oleh Gubernur Jenderal J. van den Bosch untuk mengatasi keadaan keuangan negara yang memburuk akibat perang Diponegoro dan pemasukan pajak tanah yang tidak mencukupi. Ditentang oleh Flout dan Dewan Pertimbangan Agung Hindia Belanda (Bel.: Road van Jndie) tetapi disetujui raja Belanda Willem I. Rencana semula agak ningan; rakyat harus menanami 1/5 bagian dan tanahnya dengan sanaman-tanaman ekspor secara sukarela. Sebagai imbalan pemerintah memberikan kelonggaran atau menghapuskan pajak bumi ditambah pemberian uang hadiah. Tetapi dalam pelaksanaannya, rakyat makin lama makin dipaksa; korup si merajalela. Penanaman gula, kopi, memang agak ringan; tetapi misalnya penanaman nila sangat memberatkan. Sesudah 1848 muncul gerakan oposisi yang makin menghebat di Nederland (Van Hoevel, Multatuli, dan lain-lain). Sistem ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1861—1866; gula dihapuskan dalam tahun 1890, kopi tahun 1916.© haxims.blogspot.com

Cultuurstelsel (atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Tanam Paksa ini mulai dilaksanakan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada tahun 1830, dan hal ini merupakan manifestasi dari “forced specialization” yang didasarkan pada analisis manfaat komparatif Ricardo oleh pihak penjajah.

Spesialisasi tanam paksa ini dijalankan dengan cara pembiayaan brutal dalam bentuk kerja paksa atau mobilisasi paksa dan ini merupakan komersialisasi kolonial di sektor pertanian. Proses ini mengakibatkan surplus ekonomi yang praktis tanpa modal pokok yang berarti, karena modal pokok dalam investasi tanam paksa ini adalah tenaga kerja petani kita di Pulau Jawa (Frank, 1981)

Tenaga kerja yang diperas dengan pendapatan riil yang kecil menempatkan para petani menjadi tenaga kerja yang optimal bagi Belanda yang mana akhirnya proyek ini menciptakan strata sosial di dalam masyarakat dan menempatkan petani pada strata sosial bawah yang tidak sanggup memperbaiki dirinya sendiri apalagi untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Egbert de Vries (1931) atas kajiannya mengenai kasus kegiatan pertanian di Pasuruan yang menjadi contoh kehidupan petani pada waktu itu. Pada tahun 1926 Vries menggambarkan bahwa sebanyak 62,5% dari penduduk pedesaan Jawa tergolong sebagai lapisan miskin desa atau proletariat desa.

Kelompok proletariat desa ini kemudian dalam sejarah investasi kolonial berikutnya, yaitu pembukaan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatra Timur setelah cultuurstelsel berakhir, menjadi sumber buruh murah bagi perkebunan-perkebunan besar ini. Pengiriman penduduk dari pulau Jawa ke Sumatera mirip dengan pengiriman budak oleh kekuasaan kolonial Inggris ke West Indies untuk dipaksa bekerja di perkebunan-perkebunan gula disana.

Surplus ekspor (sesudah dikurangi impor) sebagai hasil cultuurstelsel tercatat berjumlah 781 juta Gulden dalam periode 1840-1875 dan melonjak luar biasa ketika terjadi pembukaan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatera, yaitu menjadi 3,3 milyar gulden dalam periode 1915-1920 (Hatta, 1972), namun demikian tanam paksa ini tidak memberikan kemakmuran bagi negara jajahannya.

Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.

Namun demikian usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Tetapi tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.

Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.

UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.

Hatta (1972) melaporkan bahwa upah buruh perkebunan pada tahun 20an adalah sekitar 50 sen per harinya, sedangkan dividen yang diterima oleh pemegang saham modal swasta di negeri Belanda di Negeri Belanda rata-rata berada di atas 40%. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikkan produktivitas buruh Indonesia bukan dinikmati oleh penduduk negeri ini, tetapi oleh para pemegang saham bangsa Belanda di Negeri Belanda.

Contoh lain akibat penindasan dan diskriminasi secara ekonomi ini, Hatta juga melaporkan bahwa tahun 1925 pengeluaran pemerintah Hindia Belanda untuk anak-anak Indonesia hanya 32 sen per kapita. Sedangkan untuk pendidikan anak-anak Belanda di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda memberikan sebanyak 75 gulden per kapita atau lebih besar 225 kali lipat. Perbedaan yang mencolok ini mengakibatkan perbedaan kualitas pendidikan antara bumiputera dengan bangsa belanda.

Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sistem ekonomi kolonial Belanda baik berupa tanam paksa ataupun pembukaan perkebunan oleh kaum pemodal-liberal Belanda di Indonesia bukan hanya mengobrak-ngabrik struktur ekonomi Indonesia, tetapi juga memberikan kontribusi terhadap kemiskinan dan diskriminasi yang dialami oleh bangsa Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

terimakasih sudah membaca,,
Berikan komentar anda di bawah postingan ini...

terimakasih sudah mengunjungi,,,, jangan lupa follow dan like fb sersan

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger